Kamis, 23 April 2015

TUGAS 2 SOFTSKILL AKUNTANSI INTERNATIONAL



TINGGINYA BIAYA PRODUKSI

A.     LATAR BELAKANG
Kenaikan harga pada tingkat tertentu sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang terkendali. Namun akan menjadi masalah jika kenaikan harga sudah tidak terkendali, sehingga menyengsarakan kehidupan masyarakat dengan ekonomi tingkat bawah. Apalagi bila kenaikan tersebut mengakibatkan angka inflasi yang tinggi.
Dampaknya adalah menurunnya kesejahteraan dan daya beli masyarakat. Para ibu rumah tangga pun mengeluh saat harga meningkat. Karena itu, upaya menangani sumber-sumber kenaikan harga menjadi strategis untuk dilakukan.


B.     PERMASALAHAN

®    Tingginya Harga Gas Turunkan Daya Saing Industri Nasional

Umum redaksi
Pemerintah diminta segera menurunkan harga gas untuk industri di dalam negeri karena kondisi harga gas sekarang ini sudah menyebabkan turunnya  daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIGB) Achmad Safiun menjelaskan, saat ini banyak industri  mengalami penurunan produksi. “Jumlahnya cukup besar, yakni mencapai 30–50 persen, gara-gara mahalnya harga gas. Hal ini jelas berdampak pada penghasilan devisa negara dan neraca berjalan,’’ katanya, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (31/3).
Penurunan produksi itu antara lain disebabkan tingginya biaya produksi yang harus ditanggung pelaku industri, yang dipicu oleh mahalnya harga gas. Saat ini harga gas (LNG) di dalam negeri mencapai US$ 18 per MMBTu.
“Untuk menyelamatkan industri, pemerintah perlu segera menurunkan harga gas,” ucap Safiun. Dia menginginkan pemerintah menurunkan harga LNG menjadi  US$ 8 dan  harga ideal gas bumi tanpa melalui proses regasifikasi yang saat ini mencapai US$ 9 per MMBTu seharusnya diturunkan menjadi US$ 5 per MMBTu.
Menurutnya, harga gas yang rendah dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan mencegah investor yang sudah berinvestasi di dalam negeri lari ke negara lain.
Hal ini perlu dicermati pemerintah karena saat ini Malaysia maupun Singapura sudah menawarkan harga energi yang lebih rendah. Harga gas di Malaysia saat ini mencapai US$ 5 per MMBTu. Begitu juga dengan  Singapura, harganya juga tidak jauh berbeda meski mereka mengambil dari Indonesia cukup mahal. Tetapi, pemerintah menjual ke industri dengan harga yang murah.
Menanggapi permintaan industri pengguna gas bumi ini,  Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto mengungkapkan kemungkinan turunnya harga gas terbuka lebar. “Tetapi, penurunan harga itu  tentunya melalui  adanya kajian lebih dulu,” katanya.
’’Perlu dilihat cost and benefit dari harga gas yang akan ditetapkan. Kalau turun, perlu dibuktikan benefit yang akan diperoleh,’’ jelasnya. Saat ini kajian sudah dilakukan Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Harjanto menyatakan, kajian tersebut akan selesai, namun belum disampaikan lebih dulu. Sebab, pihaknya menunggu hasil kajian harga listrik. Dia menuturkan bahwa nanti hasilnya disampaikan dalam satu paket. ’’Jadi, bisa meningkatkan daya saing produk manufaktur dan ekspor produk manufaktur, serta mendorong stabilnya nilai tukar,’’ terang dia.
Yang pasti, ungkap Harjanto, pihak Kementerian Perindustrian siap memberikan dukungan terhadap kebijakan sektor energi gas untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Buyung

®    Kenaikan Elpiji 12 Kg Bakal Picu Mahalnya Gas Melon

Senin, 6 April 2015 - 18:20 wib
JAKARTA - Pengusaha makanan tradisional menilai, kenaikan harga elpiji 12 kilo gram (Kg) mampu memberikan banyak kendala bagi industri makanan tradisional, salah satunya bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Ketua Komite Tetap Bidang Makanan Tradisional Kadin Chris Hardijaya mengatakan, kenaikan harga gas 12 kg membuat kondisi gas non subsidi tersebut kosong di pasaran dan menyebabkan migrasi pun terjadi ke gas melon.
"Beralih ke 3 kg dan akan berdampak kepada 3 kg yang jadi mahal, jadi harganya mahal," kata Chris kepada Okezone, Jakarta, Senin (6/4/2015).
Tidak hanya itu, kenaikan gas 12 kg juga menyebabkan UMKM sektor makanan tradisional seperti kueh semakin berat, terutama UMKM yang sektornya menengah ke bawah.


C.      Pemicu Kenaikan Harga Elpiji Non Subsidi
Pada semester I tahun 2014, berhubungan dengan elpiji non subsidi 12 kg Pertamina harus menanggung kerugian hingga Rp 2,81 triliun. Jika tahun 2014 tidak mengalami kenaikan harga, maka diprediksi Pertamina akan merugi lebih dari Rp 5 triliun. Secara otomatis akan mengurangi jumlah perolehan laba secara keseluruhan. Berapa kenaikan harga yang akan dilakukan Pertamina, agar tidak mengalami kerugian? Menurut Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Ali Mundakir menyatakan bahwa Pertamina berencana menaikan Rp. 1.000 - Rp. 1.500 per kg atau Rp 12.000–Rp 18.000 per tabung. Bahkan, kenaikan gas elpiji non subsidi rencananya akan dilakukan kembali setiap enam bulan sekali hingga mencapai harga keekonomian, yakni pada Januari dan Juni 2015. (www.jawapos.com)
Kerugian Pertamina timbul sebagai akibat dari harga jual elpiji non subsidi 12 kg yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan. Harga yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp 5.850 per kg, sedangkan harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp 10.785 per kg. Perlu diketahui, bahwa selama ini Pertamina telah “jual rugi” dan menanggung selisihnya sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp 22 triliun dalam 6 tahun terakhir. Meskipun telah menaikan harga elpiji non subsidi 12 kg awal tahun 2014 ini secara serentak di seluruh Indonesia dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp 3.959 per kg (www.liputan6.com).
“Kondisi ini tentunya tidak sehat secara korporasi karena tidak mendukung Pertamina dalam menjamin keberlangsungan pasokan elpiji kepada masyarakat”
(VP Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir).
Oleh sebab itu, mau tidak mau Pertamina memutuskan untuk menaikkan harga elpiji non subsidi 12 kg menyusul tingginya harga pokok LPG di pasar dan turunnya nilai tukar rupiah yang menyebabkan kerugian perusahaan semakin besar. Kenaikan gas elpiji non subsidi juga dipengaruhi karena adanya laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut kerugian dari Pertamina hingga Rp7,7 triliun dari harga elpiji non subsidi yang terlalu rendah.
Betapa pentingnya pemakaian gas elpiji bagi semua kalangan, akhirnya setiap kenaikan harga gas elpiji non subsidi 12 kg akan menjadi “buah simalakama” bagi Pertamina. Menurut pengamat ekonomi Hendri Saparini mengatakan, “Hampir semua orang menggunakan elpiji. Baik itu kalangan atas maupun kalangan bawah, tapi itu tidak dimasukan dalam salah satu energi strategis sebagaimana BBM bersubsidi. Jadi semestinya selain memerintahkan Pertamina dan menteri tinjau ulang kenaikan harga, Presiden juga harus mengkoreksi peraturan pemerintah dan menempatkan elpiji itu sebagai energi strategis berkategori kebutuhan dasar” (www.voaindonesia.com).
Masyarakat secara mayoritas merasa lega, karena kenyataannya Pertamina menunda kenaikan harga gas elpiji non subsidi pada bulan Agustus 2014 dengan alasan karena pemerintah belum menyetujui kenaikan harga tersebut. Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya mengatakan bahwa Pertamina mendapatkan surat dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 6 Agustus 2014 yang isinya secara garis besar Kementerian meminta Pertamina menunda kenaikan harga, hingga ada keputusan selanjutnya dari pemerintah. Padahal, keputusan untuk menaikkan harga pada 15 Agustus 2014 ini, juga sudah disampaikan kepada pemerintah sejak bulan lalu. Tetapi, kenyataannya pemerintah berubah pikiran dan meminta Pertamina untuk menunda kenaikan harga tersebut (www.katadata.co.id.).


D.     DAMPAK
®    Kenaikan BBM dan TDL Ganggu Pertumbuhan Industri Manufaktur
Jakarta- Target pertumbuhan industri manufaktur sebesar 7,1% dalam tahun 2012 kemungkinan tidak tercapai jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL). Dampak paling signifikan dari kebijakan pemerintah itu akan dialami industri baja serta industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Dedi Mulyadi mengatakan, industri logam dasar, besi dan baja serta industri TPT menjadi penopang pertumbuhan manufaktur selama tahun lalu dan merupakan dua sektor industri dengan pertumbuhan tertinggi. Terlebih, industri logam dasar dan TPT dicanangkan akan menjadi pendukung pertumbuhan industri tahun ini.
"Pemerintah harus melakukan koreksi target pertumbuhan industri dari target awal 7,1 % kareria kenaikan biaya energi ini akan semakin menurunkan daya saing industri manufaktur di dalam negeri," ujar Dedi di Jakarta, akhir pekan lalu.
Dedi memaparkan industri yang paling rentan adalah industri yang paling banyak menyerap listrik dan energi, yaitu industri besi baja dan tekstil. Saat ini pemerintah melakukan penghitungan potensi korcksi pertumbuhan industri dengan memanfaatkan metode "computable general equilibrium" (CGE), yaitu menggunakan label input dan output.

®    Dampak kenaikan harga LPG Non Subsidi Bagi Masyarakat
1.     Gas LPG 3 tiba-tiba lenyap (Penimbunan).
Menyusul adanya kenaikan harga gas LPG untuk tabung ukuran 12 kg dari sebesar Rp 1.500 per kilogram. Dampak dari kenaikan harga gas LPG non subsidi diperkirakan masyarakat akan beralih ke gas LPG bersubsidi untuk tabung ukuran 3 kg. Oleh oknum tertentu ini bisa terjadi praktik penimbunan demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
2.     Kelangkaan LPG 3 Kg.
Dengan harga gas LPG 3 kg hanya Rp 15.000 dan apabila dikalikan empat harga LPG 3 Kg hanya Rp 60.000, sementara harga LPG 12 kg dua kali lipat. Otomatis sebagian pengusaha beralih menggunakan LPG 3 Kg. Ditambah dengan masalah pasokan gas LPG 3 Kg sudah mulai berkurang di suatu daerah tertantu, maka sebagian masyarakat baik itu pembeli maupun pengecer berupaya mencari di daerah lain. Dengan adanya pembeli dari daerah lain, menyebabkan jatah yang sudah cukup bisa terkurangi. Hal inilah yang bisa menyebabkan kelangkaan di pasaran.
3.     Munculnya tabung Oplosan
Fakta di lapangan berdasarkan data dari PT. Pertamina bahwa 79 % pengguna LPG adalah pengguna tabung gas 3 kg atau yang kita kenal dengan sebutan melon, gas 3 kg ini sering dioplos, kenapa diopos karena adanya sparitas harga yang mencolok antara gas LPG 3kg dengan LPG 12 kg. Bisa kita tau kalau ini dioplos karena jka menggunakan LPG 3kg dibanding dengan yang 12 kg, bahwasanya LPG 12 kg lebih cepat habis dibanding kita membeli LPG 3kg sebanyak 4 buah.
4.     Keresahan pengusaha rumah makan.
Dampaknya juga dialami oleh para pengusaha restoran, dengan kenaikan ini otomatis akan sangat berpengaruh pada cost perusahaan. Belum lagi akan berimbas pada kenaikan harga kebutuhan lain. Memang, ada opsi untuk menaikkan harga makanan. Tetapi, pengusaha takut ini akan berimbas pada berkurangnya jumlah pelanggan.


E.      SOLUSI
Pada prinsipnya, kebijakan kenaikan harga LPG biru diharapkan tidak merugikan dua belah pihak, yakni pemerintah dan Pertamina. Pertamina dan negara tidak terus menerus dirugikan, sebagaimana ditemukan BPK. Tapi, penyesuaian harga dilakukan pertimbangkan kemampuan dan daya beli masyarakat dan ditempuh dalam tahap yang tepat.  Dengan mekanisme dan langkah yang akan diambil pemerintah,  masalah ini dapat mencapai solusi. berikut beberapa solusi dan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini :
1.     Koordinasi yang lebih baik
Maraknya penimbunan harusnya sudah menjadi antisipasi oleh pihak Pertamina dan aparat terkait sehingga tidak terjadi praktik penimbunan yang bisa menyebabkan kelangkaan di pasaran. Harus ada distrubusi gas LPG yang jelas. Apabila terjadi kelangkaan tim bisa mengecek ke masing-masing distributor. Sementara itu pemerintah juga harus proaktif dalam mengawasi langsung mulai dari SPBE, agen dan pengkalan, karena selepas dari itu sangat memungkinkan terjadinya permainan termasuk upaya penimbunan.
2.     Menindak pengoplos
Sangat disayangkan, program yang sangat bagus ini terjadi pengoplosan yang sangat merugikan pemerintah. Permasalahan yang ada adalah tidak adanya koordinasi dengan polisi terhadap oknum nakal. Pertamina dan Polisi harusnya mencari pelaku oplosan LPG 3 kg ke 12 kg. Dengan adanya kenaikan harga LPG 12 kg, banyak pihak yang akan menimbun sampai melakukan pengoplosan LPG 12 kg. Harga LPG 3 kg bersubsidi harganya sangat murah yakni Rp 4.250 per kg. Jika dibandingkan dengan kisaran harga retail Pertamina sebesar Rp 9519 tanpa disubsidi.
3.     Bijak di dapur, hemat dikantong.
Walaupun dapur dan segala aktivitasnya menjadi sumber pemborosan terbesar di rumah. Ini adalah kiat untuk mengatasinya.
·         Memasak secukupnya sesuai jumlah anggota keluarga untuk makan sehari saja
·         Cegah hilangnya panas dari api dengan mutup panci/ wajan dengan penutupnya. Panci yang terbuka akan membuang banyak panas, masakan pun jadi lebih lama matang, bahan bakar yang terpakai lebih besar.
·         Matikan kompor sebelum masakan benar-benar matang. Biarkan sisa panas yang masih menempel pada wajan/panci melanjutkan proses pematangan masakan tanpa perlu menggunakan api.
4.     Menggunakan bahan bakar alternative
·         Liquefied natural gas (LNG) bisa menjadi alternatif karena deposit LNG yang dimiliki Indonesia cukup besar sehingga menekan ketergantungan Indonesia kepada negara lain dalam memproduksi LPG. Bahan dasar LPG sebagian besar masih diimpor. Dan jika ada alternatif LNG, mayoritas bahan dasar bisa diperoleh dari dalam negeri dan diproduksi sendiri.
·         Arang briket berbahan enceng gondok. Terkait dengan keresahan masyarakaat yang mulai kesulitan mendapatkan gas LPG bersubsidi, beberapa sekolah siap memproduksi massal arang briket enceng gondok ini sebagai bahan bakar alternatif. Harusnya pemerintah peka terhadap inovasi ini.. Apalagi bahan bakunya juga melimpah di seluruh indonesia.
·         Dimethylether (DME) sebagai bahan bakar pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG). DME adalah bahan bakar alternatif ramah lingkungan dapat diproduksi dari sumber bahan baku yang beragam, mencakup gas alam, bio massa dan batubara. DME bisa dipakai sebagai bahan bakar ramah lingkungan dan bahan baku kimia. Potensi pasar DME yang sangat besar memungkinkan terciptanya industri dalam rantai suplainya.
·         Biogas dari kotoran sapi untuk keperluan memasak sehari-hari. Dengan memanfaatkan kotoran ternak, masyarakat tidak lagi dipusingkan dengan kenaikan harga LPG. Masyarakat juga tidak terpengaruh dengan kekosongan stok LPG ukuran 3 kilogram yang juga langka di pasaran. Kotoran sapi yang setiap hari tersedi di kandang tinggal dimasukan ke bak penampungan untuk dapat menghasilkan biogas.


SUMBER :