TINGGINYA
BIAYA PRODUKSI
A.
LATAR
BELAKANG
Kenaikan harga
pada tingkat tertentu sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang terkendali.
Namun akan menjadi masalah jika kenaikan harga sudah tidak terkendali, sehingga
menyengsarakan kehidupan masyarakat dengan ekonomi tingkat bawah. Apalagi bila
kenaikan tersebut mengakibatkan angka inflasi yang tinggi.
Dampaknya
adalah menurunnya kesejahteraan dan daya beli masyarakat. Para ibu rumah tangga
pun mengeluh saat harga meningkat. Karena itu, upaya menangani sumber-sumber
kenaikan harga menjadi strategis untuk dilakukan.
B.
PERMASALAHAN
® Tingginya Harga Gas Turunkan Daya Saing Industri Nasional
8:43:34
am
# Umum redaksi
Pemerintah diminta segera menurunkan harga
gas untuk industri di dalam negeri karena kondisi harga gas sekarang ini sudah
menyebabkan turunnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi
(FIGB) Achmad Safiun menjelaskan, saat ini banyak industri mengalami
penurunan produksi. “Jumlahnya cukup besar, yakni mencapai 30–50 persen,
gara-gara mahalnya harga gas. Hal ini jelas berdampak pada penghasilan devisa
negara dan neraca berjalan,’’ katanya, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa
(31/3).
Penurunan produksi itu antara lain disebabkan
tingginya biaya produksi yang harus ditanggung pelaku industri, yang dipicu
oleh mahalnya harga gas. Saat ini harga gas (LNG) di dalam negeri mencapai US$
18 per MMBTu.
“Untuk menyelamatkan industri, pemerintah
perlu segera menurunkan harga gas,” ucap Safiun. Dia menginginkan pemerintah
menurunkan harga LNG menjadi US$ 8 dan harga ideal gas bumi tanpa
melalui proses regasifikasi yang saat ini mencapai US$ 9 per MMBTu seharusnya
diturunkan menjadi US$ 5 per MMBTu.
Menurutnya, harga gas yang rendah dapat
menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan mencegah investor
yang sudah berinvestasi di dalam negeri lari ke negara lain.
Hal ini perlu dicermati pemerintah karena
saat ini Malaysia maupun Singapura sudah menawarkan harga energi yang lebih
rendah. Harga gas di Malaysia saat ini mencapai US$ 5 per MMBTu. Begitu juga
dengan Singapura, harganya juga tidak jauh berbeda meski mereka mengambil
dari Indonesia cukup mahal. Tetapi, pemerintah menjual ke industri dengan harga
yang murah.
Menanggapi permintaan industri pengguna gas
bumi ini, Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian
(Kemenperin) Harjanto mengungkapkan kemungkinan turunnya harga gas terbuka
lebar. “Tetapi, penurunan harga itu tentunya melalui adanya kajian
lebih dulu,” katanya.
’’Perlu dilihat cost and benefit dari harga
gas yang akan ditetapkan. Kalau turun, perlu dibuktikan benefit yang akan
diperoleh,’’ jelasnya. Saat ini kajian sudah dilakukan Kemenko Perekonomian,
Kementerian Perindustrian, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah
Mada (UGM).
Harjanto menyatakan, kajian tersebut akan
selesai, namun belum disampaikan lebih dulu. Sebab, pihaknya menunggu hasil
kajian harga listrik. Dia menuturkan bahwa nanti hasilnya disampaikan dalam
satu paket. ’’Jadi, bisa meningkatkan daya saing produk manufaktur dan ekspor
produk manufaktur, serta mendorong stabilnya nilai tukar,’’ terang dia.
Yang pasti, ungkap Harjanto, pihak
Kementerian Perindustrian siap memberikan dukungan terhadap kebijakan sektor
energi gas untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Buyung
® Kenaikan Elpiji 12 Kg Bakal Picu Mahalnya Gas Melon
Senin, 6
April 2015 - 18:20 wib
JAKARTA - Pengusaha makanan tradisional menilai,
kenaikan harga elpiji 12 kilo gram (Kg) mampu memberikan banyak kendala bagi
industri makanan tradisional, salah satunya bagi Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM).
Ketua Komite Tetap Bidang Makanan Tradisional
Kadin Chris Hardijaya mengatakan, kenaikan harga gas 12 kg membuat kondisi gas
non subsidi tersebut kosong di pasaran dan menyebabkan migrasi pun terjadi ke
gas melon.
"Beralih ke 3 kg dan akan berdampak
kepada 3 kg yang jadi mahal, jadi harganya mahal," kata Chris kepada Okezone, Jakarta, Senin
(6/4/2015).
Tidak hanya itu, kenaikan gas 12 kg juga
menyebabkan UMKM sektor makanan tradisional seperti kueh semakin berat,
terutama UMKM yang sektornya menengah ke bawah.
C.
Pemicu Kenaikan Harga Elpiji Non Subsidi
Pada semester I
tahun 2014, berhubungan dengan elpiji non subsidi 12 kg Pertamina harus
menanggung kerugian hingga Rp 2,81 triliun. Jika tahun 2014 tidak mengalami
kenaikan harga, maka diprediksi Pertamina akan merugi lebih dari Rp 5 triliun.
Secara otomatis akan mengurangi jumlah perolehan laba secara keseluruhan.
Berapa kenaikan harga yang akan dilakukan Pertamina, agar tidak mengalami
kerugian? Menurut Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero)
Ali Mundakir menyatakan bahwa Pertamina berencana menaikan Rp. 1.000 - Rp.
1.500 per kg atau Rp 12.000–Rp 18.000 per tabung. Bahkan, kenaikan gas elpiji
non subsidi rencananya akan dilakukan kembali setiap enam bulan sekali hingga
mencapai harga keekonomian, yakni pada Januari dan Juni 2015. (www.jawapos.com)
Kerugian
Pertamina timbul sebagai akibat dari harga jual elpiji non subsidi 12 kg
yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan. Harga yang berlaku saat
ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp 5.850 per kg,
sedangkan harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp 10.785 per kg. Perlu
diketahui, bahwa selama ini Pertamina telah “jual rugi” dan menanggung
selisihnya sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp 22 triliun dalam 6
tahun terakhir. Meskipun telah menaikan harga elpiji non subsidi 12 kg awal
tahun 2014 ini secara serentak di seluruh Indonesia dengan rata-rata kenaikan
di tingkat konsumen sebesar Rp 3.959 per kg (www.liputan6.com).
“Kondisi ini tentunya tidak sehat secara korporasi
karena tidak mendukung Pertamina dalam menjamin keberlangsungan pasokan elpiji
kepada masyarakat”
(VP Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir).
Oleh sebab itu,
mau tidak mau Pertamina memutuskan untuk menaikkan harga elpiji non subsidi 12
kg menyusul tingginya harga pokok LPG di pasar dan turunnya nilai tukar
rupiah yang menyebabkan kerugian perusahaan semakin besar. Kenaikan gas
elpiji non subsidi juga dipengaruhi karena adanya laporan hasil audit
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut kerugian dari Pertamina hingga
Rp7,7 triliun dari harga elpiji non subsidi yang terlalu rendah.
Betapa
pentingnya pemakaian gas elpiji bagi semua kalangan, akhirnya setiap kenaikan
harga gas elpiji non subsidi 12 kg akan menjadi “buah simalakama” bagi
Pertamina. Menurut pengamat ekonomi Hendri Saparini mengatakan, “Hampir semua
orang menggunakan elpiji. Baik itu kalangan atas maupun kalangan bawah, tapi
itu tidak dimasukan dalam salah satu energi strategis sebagaimana BBM
bersubsidi. Jadi semestinya selain memerintahkan Pertamina dan menteri tinjau
ulang kenaikan harga, Presiden juga harus mengkoreksi peraturan pemerintah dan
menempatkan elpiji itu sebagai energi strategis berkategori kebutuhan dasar”
(www.voaindonesia.com).
Masyarakat
secara mayoritas merasa lega, karena kenyataannya Pertamina menunda kenaikan
harga gas elpiji non subsidi pada bulan Agustus 2014 dengan alasan karena
pemerintah belum menyetujui kenaikan harga tersebut. Direktur Pemasaran dan
Niaga PT Pertamina Hanung Budya mengatakan bahwa Pertamina mendapatkan surat
dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 6 Agustus 2014 yang
isinya secara garis besar Kementerian meminta Pertamina menunda kenaikan harga,
hingga ada keputusan selanjutnya dari pemerintah. Padahal, keputusan untuk
menaikkan harga pada 15 Agustus 2014 ini, juga sudah disampaikan kepada
pemerintah sejak bulan lalu. Tetapi, kenyataannya pemerintah berubah pikiran
dan meminta Pertamina untuk menunda kenaikan harga tersebut (www.katadata.co.id.).
D.
DAMPAK
®
Kenaikan BBM dan TDL Ganggu Pertumbuhan Industri
Manufaktur
Jakarta- Target pertumbuhan industri manufaktur
sebesar 7,1% dalam tahun 2012 kemungkinan tidak tercapai jika pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif dasar listrik
(TDL). Dampak paling signifikan dari kebijakan pemerintah itu akan dialami
industri baja serta industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri
Kementerian Perindustrian Dedi Mulyadi mengatakan, industri logam dasar, besi
dan baja serta industri TPT menjadi penopang pertumbuhan manufaktur selama
tahun lalu dan merupakan dua sektor industri dengan pertumbuhan tertinggi.
Terlebih, industri logam dasar dan TPT dicanangkan akan menjadi pendukung pertumbuhan
industri tahun ini.
"Pemerintah harus melakukan koreksi target
pertumbuhan industri dari target awal 7,1 % kareria kenaikan biaya energi ini
akan semakin menurunkan daya saing industri manufaktur di dalam negeri,"
ujar Dedi di Jakarta, akhir pekan lalu.
Dedi memaparkan industri yang paling rentan adalah
industri yang paling banyak menyerap listrik dan energi, yaitu industri besi
baja dan tekstil. Saat ini pemerintah melakukan penghitungan potensi korcksi
pertumbuhan industri dengan memanfaatkan metode "computable general
equilibrium" (CGE), yaitu menggunakan label input dan output.
® Dampak kenaikan harga LPG Non
Subsidi Bagi Masyarakat
1.
Gas LPG 3
tiba-tiba lenyap (Penimbunan).
Menyusul adanya kenaikan harga gas LPG untuk
tabung ukuran 12 kg dari sebesar Rp 1.500 per kilogram. Dampak dari kenaikan
harga gas LPG non subsidi diperkirakan masyarakat akan beralih ke gas LPG
bersubsidi untuk tabung ukuran 3 kg. Oleh oknum tertentu ini bisa terjadi
praktik penimbunan demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
2.
Kelangkaan
LPG 3 Kg.
Dengan
harga gas LPG 3 kg hanya Rp 15.000 dan apabila dikalikan empat harga LPG 3 Kg
hanya Rp 60.000, sementara harga LPG 12 kg dua kali lipat. Otomatis sebagian
pengusaha beralih menggunakan LPG 3 Kg. Ditambah dengan masalah pasokan gas LPG
3 Kg sudah mulai berkurang di suatu daerah tertantu, maka sebagian masyarakat
baik itu pembeli maupun pengecer berupaya mencari di daerah lain. Dengan adanya
pembeli dari daerah lain, menyebabkan jatah yang sudah cukup bisa terkurangi.
Hal inilah yang bisa menyebabkan kelangkaan di pasaran.
3.
Munculnya
tabung Oplosan
Fakta
di lapangan berdasarkan data dari PT. Pertamina bahwa 79 % pengguna LPG adalah
pengguna tabung gas 3 kg atau yang kita kenal dengan sebutan melon, gas 3 kg
ini sering dioplos, kenapa diopos karena adanya sparitas harga yang mencolok
antara gas LPG 3kg dengan LPG 12 kg. Bisa kita tau kalau ini dioplos karena jka
menggunakan LPG 3kg dibanding dengan yang 12 kg, bahwasanya LPG 12 kg lebih
cepat habis dibanding kita membeli LPG 3kg sebanyak 4 buah.
4.
Keresahan
pengusaha rumah makan.
Dampaknya
juga dialami oleh para pengusaha restoran, dengan kenaikan ini otomatis akan
sangat berpengaruh pada cost perusahaan. Belum lagi akan berimbas pada kenaikan
harga kebutuhan lain. Memang, ada opsi untuk menaikkan harga makanan. Tetapi,
pengusaha takut ini akan berimbas pada berkurangnya jumlah pelanggan.
E.
SOLUSI
Pada prinsipnya, kebijakan kenaikan harga LPG
biru diharapkan tidak merugikan dua belah pihak, yakni pemerintah dan
Pertamina. Pertamina dan negara tidak terus menerus dirugikan, sebagaimana
ditemukan BPK. Tapi, penyesuaian harga dilakukan pertimbangkan kemampuan dan
daya beli masyarakat dan ditempuh dalam tahap yang tepat. Dengan
mekanisme dan langkah yang akan diambil pemerintah, masalah ini dapat
mencapai solusi. berikut beberapa solusi dan kebijakan yang dapat diambil
pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini :
1.
Koordinasi yang lebih baik
Maraknya
penimbunan harusnya sudah menjadi antisipasi oleh pihak Pertamina dan aparat
terkait sehingga tidak terjadi praktik penimbunan yang bisa menyebabkan kelangkaan
di pasaran. Harus ada distrubusi gas LPG yang jelas. Apabila terjadi kelangkaan
tim bisa mengecek ke masing-masing distributor. Sementara itu pemerintah juga
harus proaktif dalam mengawasi langsung mulai dari SPBE, agen dan pengkalan,
karena selepas dari itu sangat memungkinkan terjadinya permainan termasuk upaya
penimbunan.
2.
Menindak pengoplos
Sangat
disayangkan, program yang sangat bagus ini terjadi pengoplosan yang sangat
merugikan pemerintah. Permasalahan yang ada adalah tidak adanya koordinasi
dengan polisi terhadap oknum nakal. Pertamina dan Polisi harusnya mencari
pelaku oplosan LPG 3 kg ke 12 kg. Dengan adanya kenaikan harga LPG 12 kg,
banyak pihak yang akan menimbun sampai melakukan pengoplosan LPG 12 kg. Harga
LPG 3 kg bersubsidi harganya sangat murah yakni Rp 4.250 per kg. Jika
dibandingkan dengan kisaran harga retail Pertamina sebesar Rp 9519 tanpa
disubsidi.
3.
Bijak di dapur, hemat dikantong.
Walaupun
dapur dan segala aktivitasnya menjadi sumber pemborosan terbesar di rumah. Ini
adalah kiat untuk mengatasinya.
·
Memasak secukupnya sesuai jumlah anggota keluarga untuk makan
sehari saja
·
Cegah hilangnya panas dari api dengan mutup panci/ wajan dengan
penutupnya. Panci yang terbuka akan membuang banyak panas, masakan pun jadi
lebih lama matang, bahan bakar yang terpakai lebih besar.
·
Matikan kompor sebelum masakan benar-benar matang. Biarkan sisa
panas yang masih menempel pada wajan/panci melanjutkan proses pematangan
masakan tanpa perlu menggunakan api.
4.
Menggunakan bahan bakar alternative
·
Liquefied natural gas (LNG) bisa menjadi alternatif karena deposit
LNG yang dimiliki Indonesia cukup besar sehingga menekan ketergantungan
Indonesia kepada negara lain dalam memproduksi LPG. Bahan dasar LPG sebagian
besar masih diimpor. Dan jika ada alternatif LNG, mayoritas bahan dasar bisa
diperoleh dari dalam negeri dan diproduksi sendiri.
·
Arang briket berbahan enceng gondok. Terkait dengan keresahan
masyarakaat yang mulai kesulitan mendapatkan gas LPG bersubsidi, beberapa
sekolah siap memproduksi massal arang briket enceng gondok ini sebagai bahan
bakar alternatif. Harusnya pemerintah peka terhadap inovasi ini.. Apalagi bahan
bakunya juga melimpah di seluruh indonesia.
·
Dimethylether (DME) sebagai bahan bakar pengganti Liquefied
Petroleum Gas (LPG). DME adalah bahan bakar alternatif ramah lingkungan dapat
diproduksi dari sumber bahan baku yang beragam, mencakup gas alam, bio massa
dan batubara. DME bisa dipakai sebagai bahan bakar ramah lingkungan dan bahan
baku kimia. Potensi pasar DME yang sangat besar memungkinkan terciptanya
industri dalam rantai suplainya.
·
Biogas dari kotoran sapi untuk keperluan memasak sehari-hari. Dengan
memanfaatkan kotoran ternak, masyarakat tidak lagi dipusingkan dengan kenaikan
harga LPG. Masyarakat juga tidak terpengaruh dengan kekosongan stok LPG ukuran
3 kilogram yang juga langka di pasaran. Kotoran sapi yang setiap hari tersedi
di kandang tinggal dimasukan ke bak penampungan untuk dapat menghasilkan
biogas.
SUMBER :